Siat Sampian di Pura Samuan Tiga, Gianyar

Kamis, 01 Mei 2014




SIAT SAMPIAN, TRADISI DARI PURA SAMUAN TIGA GIANYAR
  
oleh :
Gde Anom Bhuja Sukardika
XI TKJ 1/18

SMKN 1 Denpasar


---------------------------------------------------------------

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar belakang
Ada banyak peristiwa budaya dengan penekanan perang dalam tradisi Bali.Di Tenganan setiap bulan Oktober penduduk Bali Asli melakukan ritual perang pandan. Di desa adat Tuban Bali, penduduknya melakukan ritual perang api. Sedangkan di Gianyar tepatnya di Pura Samuan Tiga yang berada di Desa Pejeng, penutupan Odalan di Pura tersebut, diadakan perang sampian. Sampian adalah untaian dan rangkaian janur indah yang digunakan menghiasi banten dan sarana upacara lainnya. Jenisnya meliputi puluhan ada yang disebut sampian uras, sampian pengambian, sampian penjor sampian gebogan dan banyak lagi macamnya.
Di Pura Samuan Tiga perang sampian merupakan simbolisasi kegembiraan karena runutan upacara telah berakhir selama seminggu lebih. Perang sampian dimulai menjelang tengah hari. Diawali oleh barisan penari wanita setengah baya sekitar 40 orang banyaknya. Mereka mengenakan kebaya putih dan kemben warna hitam. Dirambutnya disuntingkan pula bunga kembang sepatu merah yang membuat mereka menjadi begitu anggun. Mereka menari berpasangan berkeliling pelataran pura Samuan Tiga. Putaran pertama mereka berjajar sambil membawa dupa, sekitar 30 menit dalam satu putaran.
Sedangkan di halaman pura mereka yang melakukan persembahyangan tetap khusuk menunaikan tugasnya. Pada putaran kedua mereka menari seperti ombak sambil memegang selendang yang terselip di pinggang rekan sebelahnya. Ketika putaran terakhir tiba mereka mengambil sampian yang dikumpulkan di tempat khusus kemudian mengangkatnya secara ritmik. Tidak dibenturkan ke rekan sebelah tapi diangkat sambil menari nari dengan penuh semangat. Itulah perangs ampian.
Sementara itu ketika penari wanita mengakhiri ritualnya penari pria yang disebut dengan parekan atau permias memulai dengan berlarian sambil berpegangan tangan keluar dari gapura. Mereka berkeliling dengan menyentuh semua lantai pelinggih yang ada di areal Pura Samuan Tiga. Mereka juga berkeliling sampai 3 kali. Sambil berlari tangan mereka berpegangan erat dengan rekan di sebelahnya sambil mengalun laksana ombak. Simbolisasi dari keharmonisan hubungan antara mereka yang selama sebulan lebih melakukan ritual yang berlangsung setahun sekali itu. Pada putara terakhir penari pria juga melakukan hal serupa, mengambil sampian atau untaian janur yang sudah kering di ujung selatan pura. Mereka berlari secara ritmik sambil mengangkat sampian itu. Di depan gapura di bagian utara pura juga mereka tetap mengangkat sampian secara berirama sambil berteriak. Beberapa ada yang mengibaskannya dengan halus dan ringan seakan tanpa tenaga kepada rekan sebelah menyebelah. Setelah itu pemangku mememcikkan air suci. Maka ritual perang sampian pun berakhir dengan damai. Semuanya berlangsung dengan penuh semangat kebersamaan dan kegembiraan. Tidak ada yang emosi, penonton yang sebagian terbesar adalah turis asing, pemotret amatir terkagum kagum dengan ritual yang jarang bisa dapatkan di lain tempat di Bali itu.
Alasan penulis memilih judul ini, karena penulis tertarik dan ingin menjelaskan kepada pembaca tentang tradisi perang/siat sampian yang dilestarikan di Pura Samuan Tiga, Gianyar.

1.2  Tujuan
Adapun tujuan diri penulisan laporan ini antara lain :
11.Untuk menambah wawasan mengenai tradisi siat sampian.
22. Untuk mengetahui tradisi-tradisiunik di Bali.
33. Meningkatkan kompetensi siswa dalam pembuatan laporan.

 
1.3  Rumusan Masalah
  1. Apa urutan upacara siat sampian ?
  2. Bagaimana kalau tradisi siat sampian tersebut tidak dilaksanakan ?
  3. Apa perbedaan siat sampian dengan siat pajeng ?

BAB II
PEMBAHASAN



2.1  SejarahSingkatPuraSamuanTiga
Sejarah pendirian Pura Samuan Tiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya Prasasti, Prakempa, Purana ataupun Babad saat ini belum banyak diketemukan. Dalam menelusuri kembali sejarah Pura Samuan Tiga berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat Fragmentaris masih relevan untuk dikaji.
Dari urain lontar Tatwa Siwa Purana disebutkan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun pada masa pemerintahan Raja Candrasangka. Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya  ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya.
Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga atau pemandiaan suci yang disebut Tirta di Air Hampul.
Bilamana Prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja candrabhayasingha Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya ynag berangka tahun 962 masehi yaitu sekitar abad X.
Pembangunan Pura Samuan Tiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap kerjaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara atau Laut.
Pura Tirta Empul sebagai Pura Gunungnya, dan Pura Samuan Tiga sebagai Pura Penataran yaitu Pura yang berada di pusat kerajaan, seperti dilaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali kuna berada di sekitar Desa Badahulu, kecamatan Blahbatuh, kabupaten Gianyar. Karena banyak di ketemukan tinggalan arkeologi ( arca-arca, tempat pertapaan ) bahkan berlangung sampai masa majapahit seperti disebutkan dalam negara Kerta Gama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Bedahulu dekat goa Gajah, Sehingga tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa Pura Samuan Tiga pada abad X merupakan Pura Penataran dari kerjaan bali kuna yang belokasi di pusat pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal yang di sebut bata anyar.
Dari uraian lontar Tatwa Siwa purana tersebut akan munculah pertanyaan apakah nama Samuan Tiga itu merupakan nama dari sejak berdirinya ?  Hal ini penting sekali dikaji karena pemberian nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa yang sangat bermakna dalam suatu proses kehidupan. Untuk menjawabnya perlu di simak sejenak makna kata Samuan Tiga, secare Etemologi kata Samuan Tiga terdiri dari perpaduan kata Samuan dan tiga. Samuan berasal dari kata samua berarti pertemuan, penyatuan, sangkep, dan Tiga baerarti 3 atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuan Tiga berarti pertemuan atau penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga. Dapat disimpulkan bahwa Samuan Tiga adalah sebagai pura Penataran pada masa pemerintahan Sri candrabhayasingha Warmadewa Siwa, Buhda dan Baliaga sehingga menghasilkan konsepsi pemujaan terhadap Tri Murti  melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiganya. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pura Samuan Tiga adalah kawitan atau cikal bakal terbentuknya Desa Pakraman di Bali.

2.2  Urutan  Upacara Siat Sampian
Sebelum siat sampian dimulai, dari acara Puja Wali yang jatuh pada Purnama kadasa sebagai upacara ngusaba yang sakral. Siat sampian ini dilaksanakan 4 hari setelah Puja Wali dilaksanakan. Rangkaian upacaranya sebagai berikut:
v  Semua warga desa bedulu nangkil ke Pura Samuan Tiga jam 07.00 wita,sebelum rangkaian acara dimulai.
v  Pakaian yang dipakai oleh pengayah permas yaitu kebaya putih dan kain hitam dilengkapi dengan selendang putih, ikat rambut berupa kain putih, menggunakan bunga pucuk rajuna (kembang sepatu merah), sedangkan parekan memakai kwaca putih, kain putih, saput putih, destar putih.
v  Sebelum Permas (pengayah istri) dan Parekan (pengayah lanang) melaksanakan ayah-ayahannya, terlebih dahulu mereka melaksanakan sembahyang bersama yang diawali dari Pura Beji, kemudian dilanjutkan ke Pura Ratu Sakti, Sedan Atma, Ratu Panji, Pura Anyar, Ajeng atau  Pura Utama (Luhur).
Pukul 08.00 wita  permas yang banyaknya sekitar 500 orang, dan parekan yang banyaknya sekitar100 orang semua melingkari pura sebanyak tiga kali, setelah selesai dilanjutkan dengan upacara mebajra, setelah selesai dilanjutkan dengan upacara ngober, setelah itu dilanjutkan dengan upacara medandan selendang dan kancut, dimana upacara madandan selendang ini hanya dilakukan oleh permas saja dengan membawa dupa secara beriringan mengelilingi pura sebanyak tiga kali, dan yang terakhir dilanjutkan dengan ngombak, dimana upacara ngombak ini dilakukan oleh permas dan parekan dengan cara berpegangan tangan mengelilingi pura sebanyak tiga kali. Setelah semua rangkaian upacaranya dilaksanakan mulailah upacara siat sampian tersebut. Sampian yang digunakan adalah sampian Dangsil atau Jerimpen.

1.      Permas yang melaksanakan siat sampian terlebih dahulu.
2.      Dilanjutkan oleh Parekannya menarikan tarian rejang.
Tradisi siat sampian hanya ada di Pura Samuan Tiga dan dilanjutkan dengan upacara tedun Ratu dilakukan oleh  para parekan. Setelah tedun Ratu para permas mempersembahkan segehan Agung dan dilanjutkan dengan upacara mapalengkungan siat pajeng (tedung), setelah selesai upacara tersebut Ratu Manca budal kemasing-masing pura. Ratu Samuan Tiga kembali melinggih di Pengaruman dan nyejer 11 hari.

2.3  Akibat Kalau Tradisi Siat Sampian Tidak Dilaksanakan
Siat sampian sudah merupakan tradisi yang diakukan pada saat empat hari setelah pujawali. Karena sudah merupakan tradisi tersebut harus dilaksanakan dan juga sudah merupakan bagian dari rangkaian upacara  di pura Samuan Tiga. Kalau tidak dilakukan maka para penyungsung pura atau warga pura merasa upacara yang dilakukan belum lengkap dan masih ada yang kurang karena upacara dan tradisi tersebut bermanfaat juga sebagai penyucian dan pembersihan. Karena penyungsung pura tidak pernah tidak melaksanakan tradisi tersebut dan akan dilakukan atau diwariskan secara turun-temuru. Merekamenganggap bahwa tradisi disana harus dilakukan karena tradisi mereka itu sangat langka dan harus dijaga dan dilestarikan dan melekat di desa bedulu,blahbatuh-gianyar.

2.4  Perbedaan Siat Sampian Dengan Siat Pajeng
Siat Sampian adalah perang yang dilakukan dengan menggunakan sampian dangsil atau jerimpen dan dilakukan dua kali yang pertma dilaksanakan oleh para permas dan yang kedua oleh para parekan.Sedangkan perang pajeng dilakukan setelah perang sampian dan perang pajeng menggunakan pajeng(tedung) dimana perang pajeng dilakukan oleh para parekan.



2.5  Foto-fotoSiatSampian

2.6  Makna yang Terkandung dalam Tradisi Siat Sampian
Sampian itu merupakan lambing senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi
Selain symbol perang terhadap kejahatan, siat sampian juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.
Pada abad ke-10 Masehi, di Pura ini digela rpertemuan besar antar berbagai sekte Hindu yang ada di Bali dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu. Pertemuan ini menyepakati penyudahan konflik antar sekte Hindu di Bali dan menjadi awal konsep pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, serta penerimaan konsep Tri Murti (Tiga Dewa Utama) di setiap desa yang ada di Bali.
Pada intinya, Siat Sampian itu bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (bumi)

 

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1.      Sebelum siat sampian dimulai, dari acara Puja Wali yang jatuh pada Purnama kadasa sebagai upacara ngusaba. Siat sampian ini dilaksanakan 4 hari setelah Puja Wali dilaksanakan. Setelah semua rangkaian upacaranya dilaksanakan mulailah upacara siat sampian tersebut. Sampian yang digunakan adalah sampian Dangsil atau Jerimpen.
ü  Permas yang melaksanakan siat sampian terlebih dahulu.
ü  Dilanjutkan oleh Parekannya menarikan tarian rejang.
Tradisi siat sampian hanya ada di Pura Samuan Tiga dan dilanjutkan dengan upacara tedun Ratu dilakukan oleh  para parekan.
2.      Siat sampian sudah merupakan tradisi yang diakukan pada saat empat hari setelah pujawali. Karena sudah merupakan tradisi tersebut harus dilaksanakan dan juga sudah merupakan bagian dari rangkaian upacara  di pura Samuan Tiga.
3.      Siat Sampian adalah perang yang dilakukan dengan menggunakan sampian dangsil atau jerimpen dan dilakukan dua kali yang pertma dilaksanakan oleh para permas dan yang kedua oleh para parekan.Sedangkan perang pajeng dilakukan setelah perang sampian dan perang pajeng menggunakan pajeng(tedung) dimana perang pajeng dilakukan oleh para parekan.

3.2  Saran
Dengan tersusunnya laporan ini diharapkan kepada masyarakat untuk mempelajari dan menerapkan ajaran-ajaran Acara Agama Hindu. Acara Agama Hindu adalah pelaksanaan pokok-pokok ajaran Agama Hindu. Agama Hindu tidak pernah mengharuskan dan mengekang umatnya. Agama Hindu harus dihayati, dicamkan, direnungkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA






http://zipoer7.wordpress.com/2012/06/10/tradisi-perang-siat-sampian-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Jam Berapa Sekarang ?

Kalender Bali

Blogger news

Most Reading