SIAT
SAMPIAN, TRADISI DARI PURA SAMUAN TIGA GIANYAR
oleh :
Gde Anom Bhuja Sukardika
XI TKJ 1/18
SMKN 1 Denpasar
---------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ada banyak peristiwa
budaya dengan penekanan perang dalam tradisi Bali.Di Tenganan setiap bulan Oktober
penduduk Bali Asli melakukan ritual perang pandan. Di desa adat Tuban Bali,
penduduknya melakukan ritual perang api. Sedangkan di Gianyar tepatnya di Pura Samuan
Tiga yang berada di Desa Pejeng, penutupan Odalan di Pura tersebut, diadakan perang
sampian. Sampian adalah untaian dan rangkaian janur indah yang digunakan menghiasi
banten dan sarana upacara lainnya. Jenisnya meliputi puluhan ada yang disebut sampian
uras, sampian pengambian, sampian penjor sampian gebogan dan banyak lagi macamnya.
Di Pura Samuan
Tiga perang sampian merupakan simbolisasi kegembiraan karena runutan upacara telah
berakhir selama seminggu lebih. Perang sampian dimulai menjelang tengah hari. Diawali
oleh barisan penari wanita setengah baya sekitar 40 orang banyaknya. Mereka mengenakan
kebaya putih dan kemben warna hitam. Dirambutnya disuntingkan pula bunga kembang
sepatu merah yang membuat mereka menjadi begitu anggun. Mereka menari berpasangan
berkeliling pelataran pura Samuan Tiga. Putaran pertama mereka berjajar sambil membawa
dupa, sekitar 30 menit dalam satu putaran.
Sedangkan di
halaman pura mereka yang melakukan persembahyangan tetap khusuk menunaikan tugasnya.
Pada putaran kedua mereka menari seperti ombak sambil memegang selendang yang
terselip di pinggang rekan sebelahnya. Ketika putaran terakhir tiba mereka mengambil
sampian yang dikumpulkan di tempat khusus kemudian mengangkatnya secara ritmik.
Tidak dibenturkan ke rekan sebelah tapi diangkat sambil menari nari dengan penuh
semangat. Itulah perangs ampian.
Sementara itu
ketika penari wanita mengakhiri ritualnya penari pria yang disebut dengan parekan
atau permias memulai dengan berlarian sambil berpegangan tangan keluar dari gapura.
Mereka berkeliling dengan menyentuh semua lantai pelinggih yang ada di areal
Pura Samuan Tiga. Mereka juga berkeliling sampai 3 kali. Sambil berlari tangan mereka
berpegangan erat dengan rekan di sebelahnya sambil mengalun laksana ombak. Simbolisasi
dari keharmonisan hubungan antara mereka yang selama sebulan lebih melakukan
ritual yang berlangsung setahun sekali itu. Pada putara terakhir penari pria juga
melakukan hal serupa, mengambil sampian atau untaian janur yang sudah kering di
ujung selatan pura. Mereka berlari secara ritmik sambil mengangkat sampian itu.
Di depan gapura di bagian utara pura juga mereka tetap mengangkat sampian secara
berirama sambil berteriak. Beberapa ada yang mengibaskannya dengan halus dan ringan
seakan tanpa tenaga kepada rekan sebelah menyebelah. Setelah itu pemangku mememcikkan
air suci. Maka ritual perang sampian pun berakhir dengan damai. Semuanya berlangsung
dengan penuh semangat kebersamaan dan kegembiraan. Tidak ada yang emosi,
penonton yang sebagian terbesar adalah turis asing, pemotret amatir terkagum kagum
dengan ritual yang jarang bisa dapatkan di lain tempat di Bali itu.
Alasan penulis memilih judul ini,
karena penulis tertarik dan ingin menjelaskan kepada pembaca tentang tradisi perang/siat
sampian yang dilestarikan di Pura Samuan Tiga, Gianyar.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan diri penulisan laporan ini antara lain :
11.Untuk menambah wawasan mengenai tradisi siat sampian.
22. Untuk mengetahui tradisi-tradisiunik di Bali.
33. Meningkatkan kompetensi siswa dalam pembuatan laporan.
1.3 Rumusan Masalah
- Apa urutan upacara siat sampian ?
- Bagaimana kalau tradisi siat sampian tersebut tidak dilaksanakan ?
- Apa perbedaan siat sampian dengan siat pajeng ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SejarahSingkatPuraSamuanTiga
Sejarah pendirian Pura Samuan Tiga yang bersumber
dari data tertulis seperti halnya Prasasti, Prakempa, Purana ataupun Babad saat
ini belum banyak diketemukan. Dalam menelusuri kembali sejarah Pura Samuan Tiga
berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat Fragmentaris
masih relevan untuk dikaji.
Dari urain lontar Tatwa Siwa Purana disebutkan
bahwa Pura Samuan Tiga dibangun pada masa pemerintahan Raja Candrasangka.
Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin
sebagai upaya penulisan kembali tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal
lainnya.
Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam
prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring,
berisi tentang pembuatan telaga atau pemandiaan suci yang disebut Tirta di Air
Hampul.
Bilamana Prabu Candrasangka seperti disebutkan
dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja candrabhayasingha
Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya ynag berangka tahun 962
masehi yaitu sekitar abad X.
Pembangunan Pura Samuan Tiga pada abad X kiranya
dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali kuna, seperti
dikatakan R. Goris dimana setiap kerjaan harus memiliki tiga pura utama yaitu
Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara atau Laut.
Pura Tirta Empul sebagai Pura Gunungnya, dan Pura Samuan
Tiga sebagai Pura Penataran yaitu Pura yang berada di pusat kerajaan, seperti
dilaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali kuna berada
di sekitar Desa Badahulu, kecamatan Blahbatuh, kabupaten Gianyar. Karena banyak
di ketemukan tinggalan arkeologi ( arca-arca, tempat pertapaan ) bahkan
berlangung sampai masa majapahit seperti disebutkan dalam negara Kerta Gama
bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Bedahulu dekat goa Gajah, Sehingga
tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa Pura Samuan Tiga pada abad X
merupakan Pura Penataran dari kerjaan bali kuna yang belokasi di pusat
pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal yang di sebut bata anyar.
Dari uraian lontar Tatwa Siwa purana tersebut akan
munculah pertanyaan apakah nama Samuan Tiga itu merupakan nama dari sejak
berdirinya ? Hal ini penting sekali dikaji karena pemberian nama pada
suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan dengan tujuan
tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa yang sangat bermakna dalam
suatu proses kehidupan. Untuk menjawabnya perlu di simak sejenak makna kata
Samuan Tiga, secare Etemologi kata Samuan Tiga terdiri dari perpaduan kata
Samuan dan tiga. Samuan berasal dari kata samua berarti pertemuan,
penyatuan, sangkep, dan Tiga baerarti 3 atau menunjuk pada bilangan
tiga. Dengan demikian Samuan Tiga berarti pertemuan atau penyatuan dari tiga
hal atau musyawarah segitiga. Dapat disimpulkan bahwa Samuan Tiga adalah
sebagai pura Penataran pada masa pemerintahan Sri candrabhayasingha
Warmadewa Siwa, Buhda dan Baliaga sehingga menghasilkan konsepsi pemujaan
terhadap Tri Murti melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan
Kahyangan Tiganya. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pura Samuan
Tiga adalah kawitan atau cikal bakal terbentuknya Desa Pakraman
di Bali.
2.2 Urutan Upacara Siat Sampian
Sebelum siat sampian dimulai, dari acara Puja Wali yang jatuh pada Purnama
kadasa sebagai upacara ngusaba yang sakral. Siat sampian ini dilaksanakan 4
hari setelah Puja Wali dilaksanakan. Rangkaian upacaranya sebagai berikut:
v Semua warga desa bedulu nangkil ke Pura Samuan Tiga
jam 07.00 wita,sebelum rangkaian acara dimulai.
v Pakaian yang dipakai oleh pengayah permas yaitu
kebaya putih dan kain hitam dilengkapi dengan selendang putih, ikat rambut
berupa kain putih, menggunakan bunga pucuk rajuna (kembang sepatu merah),
sedangkan parekan memakai kwaca putih, kain putih, saput putih, destar putih.
v Sebelum Permas (pengayah istri) dan Parekan
(pengayah lanang) melaksanakan ayah-ayahannya, terlebih dahulu mereka
melaksanakan sembahyang bersama yang diawali dari Pura Beji, kemudian
dilanjutkan ke Pura Ratu Sakti, Sedan Atma, Ratu Panji, Pura Anyar, Ajeng
atau Pura Utama (Luhur).
Pukul 08.00 wita permas yang banyaknya sekitar 500 orang, dan parekan
yang banyaknya sekitar100 orang semua melingkari pura sebanyak tiga kali,
setelah selesai dilanjutkan dengan upacara mebajra, setelah selesai dilanjutkan
dengan upacara ngober, setelah itu dilanjutkan dengan upacara medandan
selendang dan kancut, dimana upacara madandan selendang ini hanya dilakukan
oleh permas saja dengan membawa dupa secara beriringan mengelilingi pura
sebanyak tiga kali, dan yang terakhir dilanjutkan dengan ngombak, dimana
upacara ngombak ini dilakukan oleh permas dan parekan dengan cara berpegangan
tangan mengelilingi pura sebanyak tiga kali. Setelah semua rangkaian upacaranya
dilaksanakan mulailah upacara siat sampian tersebut. Sampian yang digunakan
adalah sampian Dangsil atau Jerimpen.
1. Permas yang melaksanakan siat sampian terlebih
dahulu.
2. Dilanjutkan oleh Parekannya menarikan tarian
rejang.
Tradisi siat sampian hanya ada di Pura Samuan Tiga dan dilanjutkan dengan
upacara tedun Ratu dilakukan oleh para parekan. Setelah tedun Ratu para
permas mempersembahkan segehan Agung dan dilanjutkan dengan upacara
mapalengkungan siat pajeng (tedung), setelah selesai upacara tersebut Ratu
Manca budal kemasing-masing pura. Ratu Samuan Tiga kembali melinggih di Pengaruman
dan nyejer 11 hari.
2.3 Akibat Kalau Tradisi Siat Sampian Tidak
Dilaksanakan
Siat sampian sudah merupakan tradisi yang diakukan pada saat empat hari
setelah pujawali. Karena sudah merupakan tradisi tersebut harus dilaksanakan
dan juga sudah merupakan bagian dari rangkaian upacara di pura Samuan
Tiga. Kalau tidak dilakukan maka para penyungsung pura atau warga pura merasa
upacara yang dilakukan belum lengkap dan masih ada yang kurang karena upacara
dan tradisi tersebut bermanfaat juga sebagai penyucian dan pembersihan. Karena
penyungsung pura tidak pernah tidak melaksanakan tradisi tersebut dan akan
dilakukan atau diwariskan secara turun-temuru. Merekamenganggap bahwa tradisi
disana harus dilakukan karena tradisi mereka itu sangat langka dan harus dijaga
dan dilestarikan dan melekat di desa bedulu,blahbatuh-gianyar.
2.4 Perbedaan Siat Sampian Dengan Siat Pajeng
Siat Sampian adalah perang yang dilakukan dengan menggunakan sampian
dangsil atau jerimpen dan dilakukan dua kali yang pertma dilaksanakan oleh para
permas dan yang kedua oleh para parekan.Sedangkan perang pajeng dilakukan
setelah perang sampian dan perang pajeng menggunakan pajeng(tedung)
dimana perang pajeng dilakukan oleh para parekan.
2.5 Foto-fotoSiatSampian
2.6 Makna yang Terkandung dalam Tradisi Siat Sampian
Sampian itu merupakan
lambing senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma
(kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma
atau kejahatan dari muka bumi
Selain symbol
perang terhadap kejahatan, siat sampian juga untuk merayakan bersatunya
berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan
lahir dan batin.
Pada abad
ke-10 Masehi, di Pura ini digela rpertemuan besar antar berbagai sekte Hindu
yang ada di Bali dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu. Pertemuan
ini menyepakati penyudahan konflik antar sekte Hindu di Bali dan menjadi awal konsep
pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, serta penerimaan konsep Tri Murti (Tiga Dewa Utama)
di setiap desa yang ada di Bali.
Pada intinya,
Siat Sampian itu bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta)
dan Bhuana Alit (bumi)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan sebagai
berikut :
1.
Sebelum siat sampian dimulai, dari acara Puja Wali yang jatuh pada Purnama
kadasa sebagai upacara ngusaba. Siat sampian ini dilaksanakan 4 hari setelah
Puja Wali dilaksanakan. Setelah semua rangkaian upacaranya dilaksanakan
mulailah upacara siat sampian tersebut. Sampian yang digunakan adalah sampian
Dangsil atau Jerimpen.
ü Permas
yang melaksanakan siat sampian terlebih dahulu.
ü Dilanjutkan
oleh Parekannya menarikan tarian rejang.
Tradisi siat
sampian hanya ada di Pura Samuan Tiga dan dilanjutkan dengan upacara tedun Ratu
dilakukan oleh para parekan.
2.
Siat sampian sudah merupakan tradisi yang diakukan pada saat empat hari
setelah pujawali. Karena sudah merupakan tradisi tersebut harus dilaksanakan
dan juga sudah merupakan bagian dari rangkaian upacara di pura Samuan
Tiga.
3.
Siat Sampian adalah perang yang dilakukan dengan menggunakan sampian
dangsil atau jerimpen dan dilakukan dua kali yang pertma dilaksanakan oleh para
permas dan yang kedua oleh para parekan.Sedangkan perang pajeng dilakukan
setelah perang sampian dan perang pajeng menggunakan pajeng(tedung) dimana
perang pajeng dilakukan oleh para parekan.
3.2
Saran
Dengan tersusunnya laporan ini diharapkan kepada masyarakat untuk
mempelajari dan menerapkan ajaran-ajaran Acara Agama Hindu. Acara Agama Hindu
adalah pelaksanaan pokok-pokok ajaran Agama Hindu. Agama Hindu tidak pernah
mengharuskan dan mengekang umatnya. Agama Hindu harus dihayati, dicamkan,
direnungkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
http://zipoer7.wordpress.com/2012/06/10/tradisi-perang-siat-sampian-2/